Rabu, 19 Oktober 2011

Kajian Puisi: Nyanyian Angsa W.S. Rendra Disusun oleh: Marsius Tinambunan, Daryadi, Wawan Probo S, Ferdinan Nababan, Vini Oktaviani Handayani, Doni Agung S.


  1. Alur Cerita Nyanyian Angsa
Dalam tulisan Aristoteles yang berjudul Poetics, disebutkan bahwa alur (plot) adalah salah satu unsur yang penting dalam sebuah tragedi. Dengan adanya alur, sebuah kisah berawal, berlangsung, dan berakhir: “…a whole is that which has beginning, middle, and end” (Aristoteles dalam Barnes, 1984:9). Dalam hal ini, alur menjadi sebuah kerangka (struktur) yang memuat peristiwa, karakter, diksi, gagasan, desain bentuk, sekaligus komposisi harmoni dan ritme (penafsiran dari kata melodi) sebagai sebuah karya. Penjalasan adanya awalan, tengah, dan akhir dalam sebuah alur, Aristoteles menyatakan bahwa keindahan sebuah karya adalah perihal ukuran dan urutan. Dalam hal ini, penciptaan sebuah karya diperlukan adanya penataan seperti yang disebutkan Aristoteles: “Again: to be beautiful, a living creature, and every whole made up of parts, not only present a certain order in its arrangement of parts, but also be of a certain definite magnitude” (Aristoteles dalam Barnet, 1984: 9).
Ada dua jenis alur yang dinyatakan oleh Aristoteles; alur sederhana dan alur rumit. Yang sederhana adalah yang memuat peristiwa yang di dalamnya, dalam hal ini nasib sang tokoh,  tidak mengalami perbuahan yang mengejutkan (pembalikan nasib yang tak terduga): “…when the change in the hero’s fortunes takes place without reversal or discovery” (Aristoteles dalam Barnet, 1984: 9).. Sedangkan alur yang rumit adalah alur yang melibatkan pembalikan nasib dari tokohnya (reversal). Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa alur yang menarik haruslah yang mencangkup peristiwa yang menggugah ketegangan/kengerian dan keharuan, dalam hal ini adalah yang mampu membangkitkan perasaan kemanusiaan.
Dalam puisi Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra, alur yang muncul adalah alur rumit, yang menghadirkan kejutan nasib dari sang tokoh dari awal, tengah, dan akhir dari pemadatan/ inti peristiwanya. Maksud dari inti peristiwa yang menjadi awalan, peristiwa dalam nyanyian angsa dimulai ketika sang mucikari berkata kepada Maria Zaitun (pelacur) bahwa ia harus meninggalkan rumah pelacuran karena Maria Zaitun sudah penyakitan dan tak mampu menghasilkan uang lagi: Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:/ “sudah dua minggu  kamu berbaring. /Sakitmu makin menjadi/ Kamu tak lagi menghasilkan uang./ Malahan kepadaku kau berhuhtang./ Ini beaya melulu./ Aku tak kuat lagi./ Hari ini kamu harus pergi.” (Rendra, bait 1, baris 1-8).
Awalan ceritanya dimulai dari permasalahan yang dialami Maria Zaitun, yaitu penyakit sipilis yang sangat parah. Ini adalah awal peristiwa inti dalam kehidupan Maria Zaitun yang akan mengantarkan ke peristiwa yang lebih menyakitkan (alur tengah); siang hari ketika matahari sedang panas-panasnya, Maria Zaitun pergi meninggalkan rumah pelacuran berjalan kaki menuju ke tempat dokter. Semua orang jijik melihat kondisi Maria Zaitun. Dokter tak memberinya obat, melainkan hanya suntikan vitamin C yang jelas-jelas tak bisa menyembuhkan penyakit Maria Zaitun: “Kasih ia injeksi vitamin C,”/ “Vitamin C?/ Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”/ “Untuk apa?/ Ia tak bisa bayar./ Dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal/ yang diimport dari luar negri?” (Rendra, bait 3, baris 34-42). Melalui hal tersebut, kengerian dan keharuan sudah dimunculkan dengan penggambaran parahnya sakit Maria Zaitun yang sebentar lagi akan mengantarkannya ke kematiannya, sedangkan keharuan dimunculkan dengan penggambaran bahwa sudah dokterpun sudah tidak peduli lagi padanya.
Alur selanjutnya, yang masih menjadi alur tengah (meski masih rancu mengenai apa itu tengah, namun dalam hal ini, alur tengah dimaksudkan sebagai yang selanjutnya sebelum yang terakhir), mengkisahkan perjalanan Maria Zaitun dalam kesendirian sekaligus kepasrahan menghadapi nasibnya. Waktu ditandakan sebagai jam 1 siang, matahari masih sedang panas-panasnya. Alur tersebut mempertemukan Maria Zaitun dengan koster dan pastor gereja. Sebuah peristiwa menyakitkan terjadi sekali lagi ketika Maria Zaitun tidak diterima pengakuan dosanya serta rasa butuhnya dengan tuhan oleh pastor yang menemuinya di gereja. Alur tersebut menggambarkan rasa takut Maria Zaitun atas kematian yang ia sadaritelah begitu dekat; ia hanya butuh sesuatu yang menenangkan jiwanya:“Sekarang saya takut sekali./ Saya perlu Tuhan atau apa saja/ untuk menemani saya.”/ Dan muka pastor menjadi merah padam./ Ia menuding Maria Zaitun./ “Kamu galak seperti macan betina./ Barangkali kamu akan gila./ Tapi tak akan mati./ Kamu tak perlu pastor./ Kamu perlu dokter jiwa.” (Rendra, bait 5, baris 56-65).
Setelah penolakan dari gereja, Maria Zaitun meneruskan lakunya yang semakin lemah menghadapi keadaannya yang semakin sakit. Waktu ditandakan dengan jam tiga sore, dengan matahari yang masih terasa panas. Maria Zaitun berjalan sendiri, terseok-seok, hingga ia sampai pada sebuah pasar. Semua orang menghindarinya. Dengan membawa rasa lapar, Maria Zaitun menemukan tong sampah. Disitu ia mengais makanan sisa. Alur terus melaju, menghantarkan Maria Zaitun pada jam  sore di jalanan berdebu, hingga sampai di pematang sawah. Kam enam sore, Maria Zaitun sampai pada tepi sungai, membasuh kaki, tangan serta mukanya. Badannya sudah sangatlah lemas hingga ia tak lagi bernafsu untuk memakan makanan sisa yang ia pungut di tong sampah. Alur terus berlanjut hingga menghantarkan Maria Zaitun pada jam tujuh malam; Maria Zaitun telah menemukan ketenangan, ia tak takut lagi. Di tepi sungai itu ia merenungkan kembali masa lalunya.

Akhir dari alur kisah Maria Zaitun adalah perjumpaannya dengan lelaki berambut ikal yang lebar matanya serta elok rupanya, ketika Maria Zaitun tinggal bersama keheningan: waktu, bulan, pohonaan, kali, sipilis, dan dirinya sendiri yang telah tak terkatakan lagi. Alur yang terakhir inilah yang merupakan pembalikan dari nasib Maria Zaitun, yang mulanya jatuh dalam kenistaan dan kehinaan, dalam rengkuhan lelaki tampan yang memiliki bekas luka di lambung kanannya, dua telapak tangannya, dan dua telapak kakinya. Kisah Maria Zaitun berakhir dalam kelegaan:
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.
(Rendra, bait17 baris 7-12)

Nyanyian Angsa karya Rendra merupakan model yang tepat yang di dalamnya tercakup pokok-pokok penting yang di jelaskan Aristoteles mengenai alur; di dalam alur termuat lima hal penting, yaitu: karakter, diksi, gagasan, desain bentuk, dan komposisi harmony dan ritme, yang akan dipaparkan di pembahasan selanjutnya. Selain itu alur juga memuat tiga periode waktu; awalan, tengah, dan akhir, dalam hal ini, puisi Rendra memuat ketiga hal tersebut. Sedangkan jenis alur dibagi menjadi dua, yaitu alur sederhana dan alur kompleks. Puisi Rendra memiliki jenis alur yang kedua, yaitu alur kompleks yang memuat kejutan perubahan nasib dari peristiwa-peristiwa yang dialami sang tokoh utama, Maria Zaitun. Alur yang terdapat dalam Nyanyian Angsa, merupakan alur yang bagus, dengan memakai gagasan Aristoteles, yang mampu membangkitkan kengerian dan keharuan yang fungsinya adalah untuk membangkitkan sisi kemanusiaan manusia.

  1. Karakter
Karakter dari tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam ‘Nyanyian Angsa’ karya W.S. Rendra, apabila dilihat dengan menggunakan kaca mata Peotics yang ditulis oleh Aristoteles akan menjelaskan beberapa poin mendasar. Aritoteles menuliskan bahwa ada empat poin penting dalam proses penciptaan karakter dalam sebuah karya. Poin pertama adalah kebaikan, selalu ada nilai kebaikan yang terkandung di sifat setiap manusia, walaupun dengan kadar yang berbeda-beda (tertentu). Poin kedua adalah adanya kesesuaian sifat di dalam karakter seorang tokoh. Poin ketiga adalah membuat karakter itu seolah nyata. Dan poin keempat, karakter tersebut haruslah konsisten. 
Berbekal poin-poin dasar tersebut, mari kita lihat beberapa karakter yang diciptakan oleh Rendra dalam ‘Nyanyian Angsa’. Karakter pertama dan utama pada karya ini adalah Maria Zaitun. Maria Zaitun adalah seorang pelacur yang menderita , yang tidak lagi hidup dalam kejayaan dan kemudaan (tertulis sengsara dan agak tua), menderita penyakit sipilis yang ditularkan oleh pelanggannya.  Selain sipilis, ia juga mempunyai penyakit jantung yang merupakan penakit bawaan. Sipilis yang dideritanya sudah sangat parah, ia ditingggalkan para pelanggan, diusir oleh mucikari, diperlakukan tidak manusiawi oleh orang-orang yang semestinya memanusiakan manusia, seperti Dokter, Koster, dan Pastor. Maria Zaitun adalah perempuan yang menerima nasibnya dengan pasrah namun terkadang menjurus pada keputusasaan, dan hampir pada kemarahan yang memuncak. Namun dari kesemuanya itu, Maria Zaitun tetaplah sosok yang religius, sosok yang tetap menyerahkan hidupnya pada Tuhannya. Agama tetap menjadi apa yang dipegangnya denga kuat, sedangkan pelacuran hanyalah sebatas pekerjaan yang tidak merasuki ataupun merusak sisi kereligiusannya.
Karakter dari tokoh selanjutnya adalah karakter dari Mucikari. Mucikari merupakan sosok yang digambarkan tega bersikap tidak manusiawi terhadap Maria Zaitun. Di kala Maria Zaitun tidak lagi dapat menghasilkan uang untuknya, ia mengusir perempuan itu dengan paksa, di kala sakitnya semakin parah. Sang  Mucikari tidak memiliki sisi kemanusiaan, karena menurutnya, Maria Zaitun hanyalah beban yang harus segera disingkirkan.
Jururawat merupakan tokoh lain yang ditampilkan di dalam karya ini. Karakter Jururawat sepintas lalu akan terkesan adalah salah satu karakter yang mendekati sifat baik. Hal tersebut digambarkan dari cara Jururawat yang menarik Maria Zaitun dari kemarahannya yang hampir meledak, kepada pasien-pasien lain terlihat jijik kepada perempuan itu. Sang Jururawat tidak hanya menarik Maria Zaitun, tapi juga memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada Maria Zaitun untuk menemui dokternya. Kebaikan lainnya dari Jururawat yang terkesan hanya sepintas lalu adalah, pada saat ia mempertanyakan perintah dari sang dokter saat ia diminta untuk menyuntikkan vitamin C. Namun, kebaikannya memang tidak dapat dimunculkan dengan jelas karena ia berhadapan dengan posisi yang lebih tinggi (Dokter), sehingga kebaikannya terbatasi oleh otoritas di atasnya.
Karakter dari tokoh selanjutnya adalah karakter sang Dokter. Dokter ini merupakan dokter langganan Maria Zaitun. Sosok yang semestinya bekerja dengan alasan kemanusiaan, namun saat Maria Zaitun datang kepadanya dan meminta pertolongan, sang dokter tidak mau memberikannya. Kemanusiaan sang dokter tergantikan oleh motivasi uang. Itulah mengapa sang dokter tidak mau menolong Maria Zaitun, karena perempuan itu tidak membawa uang tapi malah meninggalkan hutang.
Koster merupakan sosok sambil lalu, yang tidak menunjukkan karakter yang kuat dan hampir-hampir tidak meninggalkan kesan apapun, kecuali ketidakpedulian dan ketidaksopanannya terhadap Maria Zaitun.
Pastor adalah sosok arogan yang menghujat Maria Zaitu dengan histeris saat mengetahui bahwa perempuan itu memilih jalan sebagai pelacur. Sang Pastor menggunakan kedok kesucian dirinya dan agama sebagai bentuk legitimasi untuk menyebut Maria Zaitun sebagai pendosa yang tak termaafkan. Serta tidak memperlakukan Maria Zaitun selayaknya manusia dengan menyebut perempuan itu gila, dan pada akhirnya sang Pastor mengusi Maria Zaitun dari pandangannya yang ‘suci’.
Karakter Lelaki misterius di dalam karya ini digambarkan sebagai seseorang yang tidak dikenal sama sekali oleh Maria Zaitun, namun Lelaki tampan inilah satu-satunya manusia yang memperlakukan Maria Zaitun selayaknya manusia, bahkan sangat mengistimewakannya. Lelaki itu mengangkat derajat Maria Zaitun dari tempat yang sebelumnya dihina oleh banyak orang, ke tempat yang paling tinggi dan dihormati. Lelaki misterius itu digambarkan sebagai sang penyelamat, simbol pembebasan dan penyucian kembali bagi Maria Zaitun. Lelaki itu adalah bentuk imaji dari Maria Zaitun sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, sangat jelas terlihat bahwa dari setiap tokoh memunculkan  karakter mereka sebagai bentuk penggambaran yang singkat, namun juga mendalam (kesannya). Misalnya karakter tokoh Maria Zaitun, apabila dilihat melalui kacamata karakter yang nyatakan oleh Aristoles, akan terlihat bahwa sebenarnya walaupun Maria Zaitun adalah seorang Pelacur, ia juga adalah manusia biasa yang dihimpit oleh kemiskinan dan memilih jalan melacurkan diri. Hal tersebut dapat kita tilik melalui cuplikan di bawah ini:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
(Rendra, bait 5 baris 37-50)
Pilihan pekerjaan dari Maria Zaitun tidak kemudian menjadikan dirinya bukan orang yang baik. Walaupun Pastor mengatakan bahwa maria Zaitun berdosa, namun nilai kebaikan dari Maria Zaitun juga ditetapkan oleh pernyataan sang Pastor.  Sedangkan untuk poin kesesuaian, sikap yang digambarkan oleh tokoh Maria Zaitun cukup sesuai dan mewakili karakter tokoh Maria Zaitun yang sengsara dan putus asa. Pada poin ketiga, Rendra sangat mampu menghadirkan tokoh Maria Zaitun yang terasa nyata dan betul adanya. Lalu pada poin mengenai konsistensi, tokoh Maria Zaitun sangat konsisten dengan karakter yang dibawa pada sepanjang alur puisi tersebut.
Pada tokoh-tokoh lainnya yang terdapat di dalam puisi tersebut, Rendra tidak terlalu banyak melekatkan sifat tertentu. Tokoh-tokoh itu muncul hanya sekali saja (kecuali penggambaran tentang malaikat) dan tidak selalu menyertai Maria Zaitun sepanjang alur puisi. Akan tetapi, dalam bahasan kali ini, karakter tokoh-tokoh tersebut akan tetap dilihat melalui kaca mata Poetic.
Dari poin pertama, sikap baik tidak muncul dari tokoh Mucikari, Dokter, Koster dan Pastor. Sikap tersebut sedikit dimunculkan pada tokoh Jururawat. Sedangkan untuk poin kedua, ada semacam kerancuan dari posisi seperti Dokter, Koster dan Pastor yang (mungkin) semestinya memiliki sikap memanusiakan Maria Zaitun, namun bersikap sebaliknya. Pada poin ketiga, semua tokoh tersebut dihadirkan seolah nyata oleh Rendra. Pada poin terakhir, konsistensi hanya ditunjukan oleh tokoh Maria Zaitun, sedangkan tokoh lainnya hanya muncul sekali saja, sehingga tidak dapat dilihat konsistensinya pada alur puisi tersebut.
  1. Diksi (Diction)
Diksi atau pilihan kata merupakan unsur  penting  dalam puisi.  Menurut Aristoteles dalam Poetic  diksi, meliputi  penggunaan huruf  (letter), suku kata (syllable), kata sambung(conjunction), kata sandang (article), kata benda (noun), kata kerja (verb), kata sifat/keadaan (the case) dan logat/penuturan/gaya bahasa (the speech). 
1.      Penggunaan huruf mencakup huruf vocal maupun konsonan dalam setiap kata yang digunakan, yang menimbulkan efek bunyi  yang berirama sehingga menghasilkan keindahan.  Dalam “Nyanyian Angsa”  tampak sekali pemilihan huruf vocal, maupun kesejajaran penggunaan konsonan.  Mari kita perhatikan baris-baris puisi ini sejak awal,
…..
Kamu tak lagi hasilkan uang
Malahan kepadaku kamu berhutang
….
Aku tak kuat lagi,
Hari ini kamu harus pergi

(……
Dengan pedang yang menyala
Menuding kepadaku
Maka darahku terus membeku.
Maria Zaitun Namaku
Pelacur yang sengsara
Kurang cantik dan agak tua

Dari pembukaan “Nyanyian Angsa” sudah jelas, dengan sengaja sang penyair memilih kata-kata di bagian akhir baris dengan memilih okal maupun gabungan vocal dan konsonan yang sejajar, speerti  : tak hasilkan uang  uang—kepadaku kamu berhutang,  tak kuat lagi—harus pergi,  kepadaku—membeku—namaku, sengsara—agak tua). Jika diperhatikan, maka penempatan vocal maupun konsonan, telah menghasilkan pola bunyi tertentu, dengan struktur vvk-vvk, ataupun kv (i)-kv (i),  serta –kv (u-u-u) , dan konsonan vocal (a-a).  tidak hanya bunyi huruf vocal yang bisa menimbulkan efek irama, akhir bunyi konsonan yang berurutan juga bisa menimbulkan efek irama yang  enak didengar, seperti : Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah. Kesejajaran suara antara merah dan darah di akhir baris.
Penggunaan vocal, maupun gabungan konsonan-vokal, di akhir pada kata di akhir setiap baris  betul-betul dimanfaatkan oleh penyair untuk menciptakan irama atau rima dan ketika dibacakan akan terasa enak didengar. Seperti,  dengan memanfaatkan akhir  vocal  I,
……
Dan jelas sudah jelas dia hamper mati,
kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimpor dari luar negeri ?

Ia berjalan menuju gereja
Pintu gereja telah dikunci
Karena kuatir akan pencuri.

Juga pemilihan kata dengan memanfaatkan huruf vocal u :
...
Maaf, saya sakit ini perlu,
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau,
Lalu berkata,
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu,
Aku lihat, apa pastor mau terima kamu,”
Lalu koster itu pergi menutup pintu.
…….

Pemilihan kata-kata dengan menekankan bunyi vocal pada kata di akhir baris, bukan suatu  yang kebetulan, namun telah dipertimbangkan  oelh penyairnya (WS Rendra), tmpaknya kata-kata tersebut sederhana dan merupakan kata yang umum, namun bila diperhatikan akan tampak adanya kesejajaran dan keajegan dalam pemunculan bunyi vocal di akhir baris puisi tersebut,  seperti  pemunculan  huruf vocal (a) pada baris berikut:
….
Ada satu jam baru pastor dating kepadanya,
Setelah mengorek sisa makan dari giginya,
Ia nyalakan crutu lalu bertanya :
“Kamu perlu apa ?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya
Maria Zaitun menjawabnya
“Mau mengaku dosa.”
“ Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”

Juga pada ungkapan :  (Aku lesu tak berdaya, tak bisa nangis. Tak bisa bicara.)  terasa sangat bernas dan dalam maknanya, serta mengandung kesejajaran bunyi yang enak  untuk didengar, jika puisi tersebut dibaca, seperti kesejajaran bunyi vocal a, juga tampak dalam ungkapan : tiga detik tanpa suara, matahari terus menyala, lalu pastor bersuara, “Kamu telah tergoda dosa”, “tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
Pilihan Kata yang diakhiri dengan huruf konsonan jika dipakai secar berurutan juga bisa menimbulkan efek rima ataupun melodi  yang enak untuk didengar, seperti   : Jam empat siang. Seperti siput ia berjalan. Bungkusan sisa makanan masih di tangan. Belum lagi dimakan. Keringatnya bercucuran
Secara umum, penggunaan kata dengan memamfaatkan  kekuatan bunyi-bunyi vocal di pada akhir kata, maupun konsonan secara berturutan, sehingga menimbu;kan efek bunyi yang berirama,  merupakan pola yang digunakan oleh penyair.  Penyair dengan sengaja memilih kata-kata tersebut , bukan suatu kebetulan belaka, dengan maksus untuk menimbulkan efek kesejajarn dan keajegan irama di setiap baris puisi.
Jumlah suku kata dalam setiap kata yang digunakan dalam puisi menjadi sangat penting , khususnya dalam bahasa yang mensyaratkan adanya penekanan suku kata dalam pengucapannya, seperti bahasa Inggris. Pengucapan kata dengan penekanan pada suku kata tidak terlalu penting dalam bahasa Indonesia, namun demikian jumlah suku kata yang semakin pendek akan mem8udahkan pengucapan dan makna yang lebih lugas. Dalam sajak “Nyanyian Angsa”,  banyak menggunakan kosa kata yang pendek, dua atau tiga suku kata, seperti :
……
Ini beaya melulu,
aku tak kuat lagi,
Hari ini kamu harus pergi.
….
Jam dua belas siang hari.
 Matahari terik di tengah  langit
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria Zaitun keluar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya
Teman-temannya membuang muka,
Sempoyongan dia berjalan
Badannya demam.
… dst

2.      Dari pilihan kata yang digunakan, penyair sengaja mengelaborasi kata-kata yang masih baku atau kata dasar  (stem), bukan kata bentukan yang sudah diberi imbuhan, sehingga cukup dengan 2 atau 3 suku kata, namun sudah menunjukkan makna yang lebih tegas.  Dalam baris-baris yang digunakan, di mana banyak menampilan dialog, digunakan ungkapan-ungkapan pendek yang lazim digunakan, seperti:

“Maria Zaitun,
uangmu sudah banyak padaku,” kata dokter
“Ya,” jawabnya
“Sekarang, uangmu brapa ?”
“Tak ada.”

Atau pada dialog antara pastor dengan Maria Zaitun,

“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya
Selopnya dari kulit buaya,
Maria Zaitun menjawabnya :
“Mau mengaku dosa.”
Tapi ini bukan jam bicara,
Ini waktu saya berdo’a
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit ?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”

Tampak sekali si penyair dengan sengaja mengelaborasi kata-kata yang pendek, satu atau dua suku kata,  untuk memberikan aspek ketegasan dalam dialog dengan bahasa yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.  Justeru dengan ungkapan kata yang pendek dan tidak bertele-tele, terasa tegas dan hidup, terlebih jika baris-baris puisi itu dibacakan.

3.      Penggunaan kata sambung (konjungsi/conjunction)
Kata sambung (conjunction) merupakan kata yang menghubungkan kata-kata atau bagian-bagian kalimat untuk menyatakan idea atau gagasan secara utuh. Kata sambung untuk menyatakan gabungan (dan, lagi, dengan, pula, serta), untuk menyatakan pertentangan (tapi, tetapi, akan tetapi, melainkan), menyatakan waktu (apabila, ketika, bila, sambil, sebelum, sedang, tatkala, waktu, menyatakan tujuan (supaya, agar), menyatakan sebab (sebab, karena), akibat ( sehingga, sampai)  syarat (jika, asal, seandainya), pilihan (atau, atau…maupun), tingkat (semakin, kian…kian), perlawanan (meskipun, biarpun).
Dalam sajak “Nyanyian Angsa” banyak digunakan kata sambung di awal kalimat,  antara lain kata malahan, dengan, tapi, dan, lalu, karna, tiba-tiba ketika, seperti,  sesudah, lantaran, sedang, serta sambil),
Kata sambung untuk menyatakan perbandingan dengan kata malahan : kamu tak lagi menghasilkan uang, malahan kepadaku kamu berhutang. Sedangkan kata sambung yang menyatakan gabungan, seperti dan, dengan, serta banyak sekali digunakan di awal kalimat/baris, seperti  :
(Wajahnya tegas dan dengki,
dengan pedang yang menyala,
…..
 ia diberi giliran lebih dulu,
 dan tak ada orang memprotesnya
….
“Cukup,” kata dokter
Dan ia tak jadi mriksa
….
Ia tak bisabayar.
Dan lagi sudah jelas, ia hamper mati
Maria zaitun berjalan tanpa sepatu,
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
Lumer di bawah telapak kakinya
Pastor sedang makan siang,
Dan ini bukan jam bicara
“Tidak, Saya terdesak kemiskinan,
Dan gagal mencari kerja.
Jiwa saya kalut,
Dan saya mau mati
Jam tiga siang,
Matahari terus menyala,
Dan angin tetap tak ada
Ia tak jatuh,
Tapi darah keluar dari borok dan klangkangannya
dan meleleh di kakinya
Sesudah berjalan satu kilo lagi,
 ia tinggalkan jalan raya
dan  berbelok masuk sawah
berjalan di pematan
(Bagai pedang ia berdiri,
Dan pedangnya menyala)

Kalau kita perhatikan, penggunaan kata dan dengan menggunakan huruf capital (D) serta  dan dengan huruf kecil, tentu ada maksud dan tujuannya. Dan dengan d kecil merupakan kata sambung untuk menyatakan urutan kejadian, ada hal sebelumnya yang dinyatakan dan saling berkaitan. Namun dan dengan huruf kapital (D) di awal kalimat, untuk menyatakan keadaan yang mungkin berkaitan dengan kalimat sebelumnya, namun bisa juga kalimat (baris puisi) menyatakan hal yang berdiri sendiri dan tidak menyatakan kejadian yang saling berhubungan, seperti Jiwa saya kalut, Dan saya mau mati, ; Matahari terus menyala, Dan angin tetap tak ada.
Sedangkan kata sambung yang menyatakan pertentangan ditandai dengan kata tapi, seperti : Ia meledak marah, tapi buru-buru juru rawat menariknya, “Mau mengaku dosa,”  Tapi ini bukan jam bicara, Barangkali kamu akan gila, tapi tak akan mati,… Ia tak jatuh, tapi darah keluar dari borok di klangkangannya, ..badannya masih lemas, tapi nafsu makannya tak ada lagi, …Ia bertemu sobat lama, Tapi lalu ia ingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Ada beberapa kata sambung yang menyatakan waktu, untuk menyatakan kejadian yang saling berhubungan atau dilakukan secara bersamaan. Seperti dalam baris-baris berikut ini : Banyak pasien lebih dulu menunggu, ia duduk di antara mereka, tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka, Ia meledak marah. Kata sambung tiba-tiba untuk menyatakan suatu kala atau waktu dari peristiwa, karena ada peristiwa sebelumnya, (ia duduk di antara mereka), atau Tiba-tiba ketika nyebrang jalan,  ia kepleset  kotoran anjing,
Juga penggunaan kata sambil seperti dalam : Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan, Dan sambil berkata begitu, Maria Zaitun menciumi tubuh lelaki itu… sambil menari kumasuki taman firdaus, dan kumakan apel sepuasku, sama dengan penggunaan kata sembari : Ia jadi berduka, Dan mengadu pada sobatnya, sembari menangis tersedu-sedu. Kata sambung yang menyatakan waktu, yang sering digunakan adalah lalu,dan sesudah. 
Sedangkan kata sambung yang menyatakan sebab, dengan kata karna (karena) , dan lantaran seperti : Pintu gereja telah dikunci, karna kuatir akan pencuri, Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya, Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Kata sambung seperti untuk menyatakan perbandingan, misalnya :  Seperti sapi tengah melahirkan, ia berjalan sambil mengangkang… mukanya kurus dan hijau, seperti jeruk yang kering, …ia seperti pernah kenal lelaki itu, lelaki itu membungkuk mencium mulutnya, ia merasa seperti minum air kelapa.
4.      Penggunaan kata benda. (nouns)
Salah satu ciri yang menonjol dari puisi Nyanyian Angsa adalah penggunaan kata benda yang berisfat nyata, khusus dan popular, sehingga mudah dipahami oleh pembaca, seperti kata-kata: uang, pedang, pelacur, rumah pelacuran, sipilis, borok, leher, ketiak, obat mahal, sepatu, gereja, koster, pastoran, pastor, selop, rajasinga, setan, pater, doa, Tuhan, macan betina, dokter jiwa, jalan, kotoran anjing, restoran, makanan, daun pisang, siput, jeruk yang kering, jalan raya, sawah, pematang, pinggir kali, air kali, serangga, batu, semak, bulan, pohonan, pacarnya, lelaki tampan, tubuh lelaki itu,  bekas-bekas luka, lambung kiri, tapak tangan, tapak kaki.
5.      Penggunaan kata kerja (verb)
Penyair tampaknya benar-benar mengelaborasi (menggali kekuatan)  kata kerja, baik yang mengnadung kategori aktif maupun pasif sesuai dengan ragamnya, maupun berkategori modus atau cara yang mengandung makna imperative (perintah), indikatif (petunjuk), desiderative (menyatakan keinginan),  untuk menyampaikan jalan cerita dari puisi  yang bersifat prosa ini, , seperti kata-kata : pergi, keluar, berjalan, membakar, menunggu, menyingkir, menarik, mriksa, membuka, dikasih, diimport, mengaku,menuding , berjalan, menuju , berdosa, terbujuk , bersijingkat,  memandang, mengangkan, merebahkan, rebah, memancing, memanjat, menciumi  dan lain-lain. 
Kata kerja yang digunakan merupakan kata yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari sehingga tidak menimbulkan makna ganda, dan memudahkan pemahaman pembaca aka nisi dari keseluruhan wacana puisi tersebut.
6.      Penggunaan kata sifat (the case)
Kata sifat merupakan kata yang menjadi penjelas dari kata kerja maupun kata benda, sehingga menimbulkan makna yang lebih dalam serta memperjelas kondisi maupun latar dari tokoh yang diceritakan dalam puisi tersebut,  seperti : Sakitmu makin menjadi (menjadi adalah kata sifat yang bersinonim dengan kata parah), pedang yang menyala, matanya merah, bibirnya kering, tubuhnya yang kotor dan berbau,  menunggu sambil blingsatan dan kepanasan, kamu galak seperti macan betina, pandangannya berkunang-kunang, mukanya kurus dan hijau, berkata kasmaran, hormat dan sabar.
7.      Unsur lain yang penting dalam diksi adalah speech atau penuturan yang berkaitan dengan gaya bahasa ataupun kiasan sehingga kalimat yang digunakan menjadi menarik, hidup, segar dan menimbulkan kejelasan gambaran angan atau peristiwa yang ingin diceritakan. Ada beberapa kiasan yang digunakan dalam puisi “Nyanyian Angsa” antara lain :
·         Simile (perbandingan), seperti dalam ungkapan : kamu galak, seperti macan betina, seperti sapi tengah melahirkan, ia berjalan sambil mengangkang,  mukanya kurus dan hijau, seperti jeruk kering,  Borok. Sipilis. Perempuan. Bagai kaca, lelaki itu membungkuk mencium mulutnya, ia seperti minum air kelapa, Belum pernah ia merasakan ciuman seperti itu.
·         Kiasan metafora (perbandingan dengan tidak menggunakan kata pembanding) seperti  Teman-temannya membuang muka, Sipilis membakar tubuhnya, Matahari  terus menyala, (matahari seperti api), Ia menyerah, Dengan mata terpejam, ia merasa berlayar.
·         Kiasan metonimia (kiasan dengan pengganti nama), seperti Dokter paling tidak ia perlu Salvarzan.(Salvarzan adalah sebagai pengganti obat sipilis, yakni sejenis penicillin).    Juga penyebutan : “Santo Petrus  !” untuk pengganti kekagetan seperti astaga, Masya Allah ataupun Astafirullah  untuk menyatakan kekagetan akan sebuah kejadian yang tidak biasa (dlm tradisi Muslim) .
·         Sedangkan gaya bahasa   personifikasi (mempersamakan benda seperti manusia) antara lain digunakan ungkapan :  Malaikat penjaga firdaus, Wajahnya tegas dan dengki (mempersamakan malaikat seperti manusia yang punya wujud), Serangga bersuiran, air kali terantuk batu-batu (seolah air kali punya kaki)
dan alleghori (lukisan akan kiasan untuk menyatakan Sesuatu dengan perlambang), seperti : Lelaki itu menyeberang kali, Ia tegap dan elok wajahnya, Rambutnya ikal dan matanya lebar, Maria Zaitun berdebar hatinya, Ia seperti kenal dengan lelalki itu…(bagi kalangan umat kristiani, gambaran sosok  figure  semacam ini  sudah bisa dibayangkan), kemudian gambaran di akhir puisi tersebut, seperti : Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu, Tiba-tiba ia terhenti, Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya. Di Lambung kiri, Di dua tapak tangan, Di dua tapak kaki, Aku tahu siapa kamu. Di sini jelas dinyakan dengan perlambang luka di lambung, dua tapak tangan, di dua tapak kaki yang secara implicit menyatakan luka akan penyaliban yang dialami oleh Jesus.
·         serta hiperbola (penjelasan yang berlebihan), seperti : Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka,  Ia meledak marah, (kemarahannya seperti benda yang bisa meledak , seperti bom) Ia kesakitan waktu membuka baju, sebab bajunya lekat di borok ketiaknya (untuk menjelaskan sakit yang sangat parah, penuh nanah sehingga bajunya menempel di lukanya tersebut). Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan (blingsatan untuk menyatakan kegelisahan), juga dalam ungkapan , matahari terus menyala (untuk menyatakan bersinar dengan panas, dipersamakan dengan api yang menyala). 
  1. Gagasan (Thought)
Aristoteles hanya sedikit saja menyinggung gagasan (thought) dalam karya sastra. Menurutnya, gagasan sangat erat bersinggungan dengan diksi, atau dengan kata lain, dalam diksi tersimpan maksud tertentu yang ingin disampaikan oleh pengarangnya.
            Secara keseluruhan, Nyanyian Angsa merupakan sebuah karya yang memuat gagasan-gagasan dalam bentuk kritik kemanusiaan. Karya ini dengan sangat jelas menekankan kritiknya terhadap praktek keagamaan yang dalam hal ini, ajaran kebaikan dalam agama dipraktikkan secara berlainan dalam kehidupan manusia. Kritik agama sekaligus kritik kemanusiaan dalam karya ini disampaikan secara jelas melalui beberapa hal; pelacur, mucikari, sipilis, dokter, malaikat, koster, pastor, gereja, dosa, dan lelaki dengan ciri-ciri yang serupa dengan Yesus.
            Jika yang berpenyakit sipilis dalam karya ini adalah petani, maka akan berbeda pula kisahnya, sekaligus maknanya. Namun yang berpenyakit sipilis dalam karya ini dipilihlah oleh Rendra seorang pelacur yang telah agak tua dan tidak cantik lagi. Dengan demikian, lewat kacamata agama, penyakit sipilis ini adalah penyakit yang disebabkan oleh dosa dari perzinaan yang terlarang. Tentu saja representasi pelacur yang menderita sipilis jadi tampak menjijikkan. Berangkat dari titik inilah tragedi kemanusiaan dimulai. Semua orang termasuk mucikari, dokter, koster, dan pastor melakukan penolakan terhadap Maria Zaitun. Mucikari dan dokter melakukan penolakan dengan pertimbangan bahwa Maria Zaitun tak lagi memiliki uang sekaligus masa depan; manusia yang tak lagi berguna yang mirip parasit. Sedangkan koster dan pastor melakukan penolakan karena Maria Zaitun adalah pelacur yang hampir mati karena sipilis: dosa yang sungguh terkutuk.
Satu-satunya yang menerima Maria Zaitun adalah lelaki yang memiliki ciri-ciri serupa Yesus. Hal ini merupakan pukulan telak bagi apparatus agama; betapa tidak, Yesus saja menerima dan mengampuni Maria Zaitun yang dianggap terkutuk oleh, kenapa manusia yang mengagungkan Yesus menolaknya?
Karya ini seakan mengajak pembaca untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan; ajaran kasih kepada sesama yang seringkali jauh dari praktek kemanusiaannya. Begitulah garis besar gagasan yang termuat dalam Nyanyian Angsa karya Rendra.
  1. Desain (Spectacle)
Aristoteles menyatakan bahwa spectacle sebagai sebuah daya tarik; unsur artistik yang paling sedikit dari keseluruhan bagian, dalam hal ini adalah karya seni yang muncul lebih sebagai desain (bentuk) dari pada karya itu sendiri. Namun demikian, effek tragis yang muncul disebabkan, salah satunya, melalui desain dari karya tersebut. Dalam pertunjukan, spectacle  hadir sebagai imaji yang dimunculkan, dalam puisi hadir melalui susunan kata-kata, sebagaimana imaji tersebut menghadirkan visual bayangan, yang menghadirkan efek tertentu.
Nyanyia Angsa karya Rendra memuat sejumlah imaji yang dimunculkan melalui penataan kata-katanya. Setiap kata yang memiliki kekuatannya tersendiri, kemudian jika di kombinasikan dalam bentuk (urutan) tertentu, akan menghadirkan imaji yang berakibat pada efek nuansa (suasana). Sebagai contoh:
Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.

(Rendra, bait 5 baris 1-5)
            Urutan kata yang menjadi kalimat, yang kemudian menjadi bait, memberikan sebuah ilustrasi yang berakibat pada rasa ‘seakan-akan’. Pembaca dibuat seolah melihat dan merasakan betapa panas rasanya telapak kaki yang berkjalan di aspal dengan terik matahari pada jam satu siang. Rasa ‘seakan-akan’ di sini tidak harus muncul melalui sebuah pertunjukan, namun dari desain kata-kata dalam bait tersebut, Rendra telah memperlihatkan yang dirasakan Maria Zaitu kepada pembacanya.
Aristoteles berkali-kali menuliskan bahwa karya yang baik adalah karya yang membangkitkan kengerian dan keibaan. Demikian melalui spectacle, kurang lebihnya dua hal tersebut juga ikut disampaikan. Contoh lain yang muncul sebagai spectacle  dalam puisi Nyanyian Angsa adalah sebagai berikut:
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
(Rendra, bait 7, baris 11-17)

Bait tersebut, secara keselutuhan menyuguhkan kepada pembaca sebuah kengerian melalui kalimat-kalimat yang menghadirkan ilustrasi; pembaca seakan sampai dan mampu melihat betapa yang tertuliskan tersebut begitu jelas penderitaan dan rasa sakit Maria Zaitun. Begitulah desain yang dihadirkan melalui penyusunan kata-kata, atau dengan kata lain spectacle, mampu mengarahkan pembacanya untuk melihat dan seakan mampu merasakan kengerian, yang semestinya menghadirkan rasa iba.

  1. Melodi (Melody)
Lagu atau melodi  merupakan salah satu elemen musikal dalam karya seni (sastra). Cirinya adalah bahwa bagian ini berpeluang untuk dilagukan, sebagaimana dalam musik, chorus berciri-ciri mengalami pengulangan, semacam reffrein.  Aristoteles berpendapat bahwa chorus harus sepenuhnya terintegrasi dalam karya seperti seorang aktor bekerja; tidak menjadi "selingan belaka," tetapi harus memberikan kontribusi pada kesatuan plot.
Dalam Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra, melodi yang dimaksudkan Aristoteles terdapat dalam beberapa bait sebagai berikut ini:
Bait 2:
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).

Bait 4:

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)

Bait 6:

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)

Bait 8:

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Bait 10:

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).

Bait 12:

(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Bait 14:

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Bait 16:

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)

Jadi sebagai mana pada bait-bait tersebut dalam puisi ini memiliki suatu ciri/kesamaan: struktur, bentuk, dan karakter, terlebih memang dalam  puisi ini, bait-bait tersebut memang dimaksudkan untuk dinyanyikan, jadi dalam bait-bait tersebutlah melodi ditempatkan.



           




Tidak ada komentar:

Posting Komentar