(DITINJAU
DARI ELEMENTS OF SEMIOLOGY oleh
ROLAND BARTHES)
PENDAHULUAN
Pokok
bahasan paper ini adalah Langue dan Parole, sesuai dengan
judul bab pertama dalam buku Ĕléments de
Sémiologie yang ditulis oleh Roland Barthes dengan menggunakan Bahasa
Perancis sebagai media tuturnya. Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam
Bahasa Inggris dengan judul Elements of
Semiology, dimana bab pertama dalam buku tersebut, yang menjadi pokok
bahasan paper ini, diberi judul Language
and Speech. Paper ini juga merujuk edisi Bahasa Indonesia dari buku
tersebut, Petualangan Semiologi. Buku
Elements of Semiologi dan Petualangan Semiologi menjadi buku
rujukan utama saat berdiskusi tentang Langue
dan Parole dipilih karena kedua buku
tersebut diterjemahkan langsung ke dalam edisi Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia dari Bahasa Perancis, sebagai bahasa tutur asal buku Ĕléments de Sémiologie. Edisi Bahasa
Inggris, Elements of Semiology,
menjadi rujukan utama karena Bahasa Inggris memiliki perbendaharaan kosakata
yang lebih kaya dan lebih luas dibandingkan kosa kata Bahasa Indonesia,
sehingga edisi Bahasa Inggris mampu mendiskripsikan istilah yang digunakan
Roland Barthes dengan lebih luas dan ceruk. Edisi Bahasa Indonesia, Petualangan Semiologi, lebih mudah
dipahami karena penerjemah menuliskan beberapa istilah asal dari Bahasa
Perancis dan mendeskripsikannya secara singkat. Selain itu, penerjemah Bahasa
Indonesia menuliskan alasan ia memilih diksi tertentu untuk menerjemahkan
istilah yang dipakai Roland Barthes, dengan merujuk dan membandingkan
diksi-diksi tersebut untuk meminimalisir misinterpretasi dari istilah yg
dimaksud (dapat dipahami bahwa beberapa istilah yang dipakai di dalam Bahasa
Indonesia sebagai istilah serapan dari bahasa Perancis terasa barbar).
Elements of Semiology, untuk selanjutnya
buku yang ditulis oleh Roland Barthes ini akan menjadi referensi utama dalam
paper ini. Di dalam buku ini, Roland Barthes melakukan ekstensi teori
linguistik modern yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Roland Barthes
kemudian mengembangkan lebih jauh teori linguistik modern itu untuk
menerapkannya ke dalam kajian semiologi. Menurut Roland Barthes yang terungkap
dalam buku ini, semiologi adalah bagian dari linguistik dimana linguistik bukan
bagian dari pengetahuan umum tentang tanda. Semiologi mencakup penjelasan kesatuan-kesatuan besar
yang menandakan dari diskursus. Melalui semiologi, diharapkan dapat menjelaskan
kesatuan penelitian saat ini di dalam kajian lain, seperti halnya antropologi,
sosiologi, psikoanalisis, dan ilmu gaya bahasa sekitar konsep tentang arti (Elements of Semiology, hlm. 11). Seperti
yang telah disebutkan di atas, paper ini menjadikan Langue dan Parole, yang
merupakan bab 1 dari buku Elements of
Semiology sebagai pokok bahasan utamanya. Arti penting dari bab 1 tentang Langue dan Parole menurut Roland Barthes mencakup dua hal. Hal yang pertama
adalah historiositas bahasa, yaitu sejarah dan perkembangan bahasa di dalam
masyarakat. Hal yang kedua adalah sosio antropologi bahasa penggunaan bahasa di
dalam masyarakat.
Istilah
Langue dan Parole dipilih oleh kelompok pembahas ini bukannya tanpa alasan,
dimana di dalam buku Elements of
Semiology istilah Language dan Speech adalah istilah yang digunakan.
Alasan utama penggunaan istilah langue
dan parole merujuk pada pemikiran
awal Ferdinand de Saussure yang menyadari tiga kata dalam Bahasa Perancis yaitu
langue, parole dan langage mengandung pengertian bahasa,
tetapi cukup berbeda. Saussure menggunakan ketiga kata tersebut untuk
menjelaskan aspek-aspek bahasa. Dengan menggunakan kata dari bahasa asal,
Bahasa Perancis, kelompok pembahas berharap bahwa aspek-aspek bahasa bisa
dijelaskan lebih baik dan lebih dekat dengan bahasa asalnya. Selain itu, kelompok
pembahas menyadari bahwa Bahasa Inggris memiliki keterbatasan kosakata
dibandingkan Bahasa Perancis. Di dalam Bahasa Inggris, kata yang berkaitan
dengan bahasa adalah kata language (Bahasa
Indonesia = Bahasa). Kata language ini memiliki ambivalensi arti yang
menunjuk dua aspek berbeda yang dimaksudkan oleh Saussure, langage dan langue. Sehingga,
kerancuan dapat timbul saat membahas language
asebagai langue atau langage. Dengan demikian, kelompok pembahas menimbang untuk meminimalkan
kesalahpahaman pengertian baik saat masing-masing anggota kelompok membaca Elements of Semiology, maupun saat
melakukan presentasi di kelas. Tentu disadari oleh setiap anggota kelompok
bahwa pada saat masing-masing individu mendapati kata language saat membaca Elements
of Semiology, individu kemungkinan besar akan memiliki referensi kata bahasa (sebagai terjemahan dari kata language) di dalam pikiran mentalnya,
yang mana akan memberikan kerancuan antara konsep language dan langue.
Tujuan dari pembahasan bab
satu ini adalah selain sebagai tugas kelompok kelas Semiotika, penulisan paper
ini adalah untuk meninjau ulang secara singkat tentang Langue and Parole, dimana selanjutnya akan dipresentasikan di dalam
salah satu sesi kelas Semiotika kepada rekan-rekan sekelas.
LANGUE DAN PAROLE
(Element-element of Semiology ; Roland
Barthes)
1.
Dalam Linguistik
Langue dan Parole menurut Saussure adalah sesuatu
yang baru dibandingkan dengan kajian linguistik
sebelumnya, yang membahas historis dari bahasa. Saussure berangkat dari natura language yang multiforma dan heteroklit (campur aduk) sehingga
sulit untuk diklasifikasikan, karena di dalamnya termasuk yang fisik,
fisiologis, mental, dan sosial.
Dari
yang campur aduk itu, menurut Saussure, akan lebih jelas jika ditarik dari
obyek sosialnya yaitu serangkaian konvensi untuk bisa saling berkomunikasi,
yang kemudian Saussure menyebutnya sebagai langue.
Sedangkan parole adalah aktualisasi
individual dari langue dalam
keseluruhan langage. Untuk
menjelaskan parole-langue-langage,
sebagai contoh: jika langage adalah
Bahasa Indonesia, maka langue adalah kaidah Bahasa Indonesia, sedangkan parole adalah penggunaan Bahasa
Indonesia oleh individu-individu. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini
adalah sebagai berikut:
Langue adalah langange dikurangi parole, dimana langue
adalah institusi sosial dan sistem nilai. Dalam hal ini, individu tidak bisa
menciptakan dan memodifikasi langue,
karena langue adalah kontrak
kolektif. Di dalam kontrak kolektif tersebut ada aspek konstitusional dan aspek
sistematis, yang menjadi institusi
sosial dan sistem nilai. Konstitusional memiliki aturan yang di dalamnya
memiliki nilai (Fakta sosial dari pengaruh Durkheim: konvensi umum memaksa
individu untuk ikut). Institiusi sosial dibutuhkan untuk suatu legalitas bahwa “sesuatu’’
itu sudah menjadi kesepakatan bersama.
Parole adalah tindakan
individual yang merupakan kegiatan seleksi dan aktualisasi dari langue. Parole terdiri dari kombinasi-kombinasi yang digunakan subyek untuk
menggunakan langue sebagai cara
mengungkapkan pemikiran pribadinya. Dalam hal ini, misalnya, fonasi atau
pembunyian masing-masing individu tidak bisa disamakan dengan langue sebagai institusi konvensional.
Maksudnya, langue tidak akan berubah
meskipun subyek yang menggunakannya berbicara dengan, misalnya, nada tinggi
atau rendah maupun cepat atau lambat.
Langue dan Parole membutuhkan proses dialektika di
antara keduanya, karena masing-masing dari kedua terma ini tidak akan memiliki
definisi yang penuh: tidak ada langue
yang hadir tanpa parole dan tidak ada
parole yang hadir di luar langue. Hal ini terjadi karena langue dan parole ada dalam satu hubungan komprehensif yang bersifat resiprok (saling, timbal balik). Di satu
sisi, langue adalah “harta yang
dikumpulkan” lewat praktek parole.
Karena langue adalah satu kumpulan
kolektif dari cetakan-cetakan individual, maka tidak bisa menjadi sesuatu yang
lengkap pada individu itu sendiri.
Secara
historis, fakta-fakta parole selalu
mendahului fakta-fakta langue. Parole membuat langue berevolusi; secara genetis, langue hadir dalam individu lewat pembelajaran dengan parole yang mengelilingi indvidu
tersebut. Contoh: orang tidak mengajarkan gramatika dan kosakata (langue) pada bayi. Sederhananya, langue adalah sekaligus produk dan instrumen
dari parole: dengan demikian langue dan parole adalah suatu dialektika.
Dalam
salah satu pembahasan langue dan parole, Barthes menuliskan beberapa hal
penting yang diungkapkan Hjemslev; mendistribusikan langue dan parole secara
lebih formal. Pada langue, Hjemslev
membedakan menjadi tiga wilayah:
-
Skema
(langue yang hadir sebagai forma yang murni),
-
Norma
(langue sebagai forma material, misalnya; aturan fonologis), dan
-
Usage
(langue yang dilihat dari keseluruhan kebiasaan suatu masyarakat tertentu).
Macam-macam
hubungan antara parole, usage, norma, dan skema:
-
Norma
menentukan usage dan parole,
-
Usage
menentukan parole sekaligus
ditentukan parole, dan
-
Skema
ditentukan sekaligus oleh parole, usage, dan norma.
Dengan
demikian muncul dua wilayah fundamental:
-
Skema yang
teorinya bercampur dengan teori forma
dan institusi.
-
Kelompok Norma-Usage-Parole
yang teorinya bercampur dengan teori tentang substansi dan eksekusi.
Karena
norma adalah suatu abstraksi murni
dan parole adalah konkretisasi sederhana,
maka muncullah dikotomi baru skema/usage
yang menggantikan langue/parole.
Sehingga Hjemslev memformalkan konsep langue secara lebih radikal (dengan nama skema).
Identifikasi
langue dengan code dan parole dengan message memunculkan problematika;
konvensi-konvensi code adalah
eksplisit, sedangkan konvensi-konvensi langue
adalah implisit, dengan demikian, bisa dimunculkan problema analog dengan
mempertanyakan hubungan-hubungan yang ada antara parole dengan sintagma.
Parole
bisa didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari signe-signe. Pada langue ada
juga sejumlah sintagma yang beku (Saussure menyebutkan satu kata komposit/majemuk
macam magnanimus). Kemudian hal itu
memunculkan analisis tentang sintagma-sintagma beku yang memiliki natura linguistik (glottis), yang hadir secara utuh di antara variasi-variasi
paradigmatis. Variasi yang tidak bersignifikasi tetap bersifat glotis, yaitu variasi yang termasuk
dalam langue. Ini juga membentuk
suatu korpus signifiant dalam langage sehingga membentuk konotosi yang
kuat, yang pada tingkat denotasi, misalnya aksen, menjadi suatu code yang tanpanya maka message tidak bisa disampaikan maupun
ditangkap.
Selain
langue dan parole, ada dua konsep lagi yang telah dijelaskan juga oleh
Saussure, yang pertama adalah idiolek, yaitu
: “langage sebagaimana yg dipakai
oleh satu individu”, sebagaimana dikatakan oleh Martinet, atau “permainan utuh kebiasaan-kebiasaan yang
dimiliki oleh satu individu di satu saat tertentu” sebagaimana dikatakan oleh
Ebeling.
Pengertian idiolek di atas ditolak oleh
Jacobson, karena menurut Jacobson pengertian idiolek itu bersifat ilusi.
Menurut Jacobson, saat individu berbicara dengan orang lain, individu itu
menggunakan langage atau kosakata
yang dikuasai orang lain itu. Akan tetapi, pembahasan tentang idiolek tetap
penting untuk membicarakan realitas-realitas sebagai berikut:
-
Penderita aphasia,
karena mereka memiliki idiolek murni.
-
Style
pengarang, karena mengikuti model verbal tradisi yang berasal dari kolektivitas.
-
Ekstensi pengertian idiolek dengan definisi
bahwa langage dari sekelompok orang yang
menginterpretasikan semua ujaran linguistis dengan satu cara yang sama. Maka,
idiolek mirip dengan penulisan.
Usaha
pencarian untuk konsep idiolek hanya menjadi kebutuhan untuk menjembatani
antara langue dan parole (seperti halnya teori usage oleh Hjemslev). Dengan kata lain, pencarian konsep idiolek
ini adalah tanda kebutuhan untuk membicarakan parole yang diinstitusionalkan,
namun belum menjadi langue yang telah
diformalkan secara radikal.
Dengan
menggunakan istilah code/message sebagai identifikasi atas langue/parole, maka konsep tambahan yang kedua adalah struktur ganda (duplex structure) yang di-elaborasikan oleh Jacobson. Beberapa kasus
khusus mengenai hubungan general
code/message adalah dua kasus sirkularitas dan dua kasus overlapping:
-
Message di
dalam message (M/M) merupakan kasus
umum dari gaya kalimat tak langsung.
-
Nama diri: nama yang dimiliki seseorang,
sirkularitas kodenya menjadi jelas (C/C): Jean artinya seseorang yang dinamai Jean.
-
Kasus autonomi, misalnya “rat adalah sebuah suku kata”, di sini rat digunakan sebagai designasi kata rat itu sendiri sehingga message
meng-overlapping kodenya (M/C). Struktur
ini mencangkup interpretasi-interpretasi yang tujuannya memberi penjelasan;
sirkonlokusi-sirkonlokusi, sinonim-sinonim, dan penerjemahan satu bahasa ke
bahasa lainnya.
-
Struktur ganda yang paling menarik adalah shifter-shifter (embrayeurs: penggeser). Contoh paling mudah dalam kasus ini adalah
tentang kata ganti orang, misal, ‘aku’ merupakan simbol indeksial yang di dalamnya
menyatukan ikatan konvensional (‘aku’ dalam bahasa Indonesia, ‘me’ dalam bahasa Inggris, ‘je’ dalam bahasa Prancis) dan ikatan
eksistensial (dengan menghubungkan proferasinya (C/M) atau kata ganti orangnya).
2. Dalam
Semiologi
Dalam
gagasan langue saussurian, linguistik telah mengembangkan aspek system
“valeur”; keharus-ada-an suatu analisis yang imanen terhadap institusi
linguistisnya. Yang imanen inilah kemudian berkembang dalam ranah filsafat,
melalui Marleau-Ponty, yang memperluas pengertian langue/parole dengan menyatakan bahwa setiap proses mengharuskan
adanya suatu sistem: dengan demikian jadilah suatu oposisi antara kejadian (evenement) dan struktur.
Selain
itu, pengertian Saussurian ini juga mengalami perubahan besar dalam bidang
antropologi, melalui Levi-Strauss; oposisi antara proses dan sistem (antara langue dan parole) secara konkret ditemukan dari pertukaran perempuan hingga
ke sistem kekerabatan. Nilai epistemologis dari oposisi ini: fakta-fakta langue memang berasal dari interpretasi
mekanistis dan interpretasi struktural, dan berasal pula dari fakta-fakta parole yang diperoleh dari kalkulasi
makro-linguistik.
Dengan
demikian, lewat indikasi-indikasi kasarnya, pengertian langue/parole kaya akan perkembangan ekstra linguistis atau
meta-linguistis, sehingga bisa dipostulatkan bahwa kategori general langue/parole memang ada dan dapat
diperluas dalam menjangkau semua sistem signifikasi.
Perpindahan
langue/parole dalam linguistik
Saussure ke semiologi beresiko mengalami modifikasi. Sebagai contoh adalah
pembacaan tentang pakaian seperti yang dicontohkan oleh Troubetskoy: dalam
pakaian yang dikenakan (yang real), sehingga langue tersusun menjadi:
1. Oposisi-oposisi dari bagian-bagian,
pemotongan-pemotongan bagian atau detail yang variasinya membawa kepada suatu
perubahan makna.
2.
Oleh aturan-aturan yang menentukan asosiasi bagian-bagian antar individu,
mungkin seturut panjang tubuh, mungkin seturut ukuran tubuh. Parole mencangkup semua fakta
dikenakannya pakaian itu secara individual (tinggi-besarnya pakaian itu,
tingkat pemakaian, derajat kebersihan, mania/selera personal, asosiasi bebas
bagian-bagiannya; di sini dialektika antara yang menyatukan kostum (langue) dengan pengenaan pakaian (parole) tidaklah sama dengan dialektika
yang terjadi dalam langage: pengenaan
pakaian selalu merupakan usaha menyesuaikan diri dengan kostum.
Distingsi Saussurian dapat dengan mudah
ditemukan bila kita ambil satu system signifkasi yang lain: makanan [nourriture]. Langue
alimenter [makanan] tersusun dari beberapa faktor, antara lain:
1.
Oleh aturan-aturan mengenai ekslusi (tabu alimenter).
2. Oleh oposisi-oposisi bersignifikasi yang dilakukan atas
unitas-unitasnya.
3. Oleh aturan-aturan asosiasi, yang bisa saja simultan, bisa
juga suksesif.
4. Oleh protokol-protokol adat, yang mungkin berfungsi sebagai
semacam retorika alimenter.
Menu misalnya menggambarkan
permainan Langue dan Parole: setiap menu dibuat dengan
referensi pada suatu struktur (nasional atau regional, namun struktur itu
disesuaikan dengan hari dan penggunanya, sebagaimana “forma” linguistis
digunakan lewat variasi-variasi bebas dan kombinasi-kombinasi yang dibutuhkansi
si penutur untuk menyampaikan message tertentu.
Untuk mengakhiri pembicaraan yang mungkin
arbitrer tentang perspektif-perspektif distingsi Langue/Parole, ada dua
sistem obyek yang memang sangat berbeda satu sama lain, tetapi memiliki
kesamaan bahwa keduanya tergantung kepada suatu kelompok pengambil keputusan
(fabrikasi): kedua system itu adalah mobil [automobile]
dan perabotan [mobilier].
Dalam
mobil, “Langue”-nya disusun oleh
suatu kumpulan forma-forma dan “detail-detail”, yang strukturnya dibangun
secara diferensial dengan membandingkan prototype-prototypenya di antara
mereka. Parole-nya menjadi sangat
sedikit, sebab jika dihadirkan bersama maka kebebasan pilihan atas modelnya menjadi
sangat sempit. Kebebasan eksekusi-nya adalah berkenaan dengan suatu adat
penggunaan yang telah berkembang setelah beberapa waktu, maka “forma-forma”
yang berasal dari Langue-nya harus
melewati masa praktik tertentu agar bisa diaktualisasikan.
Sangatlah
prematur jika orang langsung menentukan kelas fakta-fakta langue dan fakta-fakta parole
bagi sistem-sistem tertentu, sebab disatu pihak kita belum bisa memastikan
apakah “langue” dari masing-masing
system yang kompleks dan original itu, (kita mengenal “langue” linguistis, tetapi kita tidak tahu apa-apa tentang langue gambar maupun langue musik). Bagi sistem-sistem yang
kompleks atau yang ber-konotasi ini (dua karakter ini tidak saling
menyingkirkan), orang tidak bisa mem-predeterminasi-kan kelas fakta-fakta langue dan kelas fakta-fakta parole-nya meski hanya secara global dan
hipotetis.
Jangkauan
semiologi pada pengertian langue/parole bukannya tanpa menghadirkan
beberapa persoalan yang muncul ketika model linguistik tidak bisa diikuti dan
harus diubah. Namun persoalan pertamanya
berkaitan dengan asal-usul sistem, yaitu dialektika antara langue dan parole yang
ada pada sistem itu sendiri. Dalam langage
tidak ada satu hal pun yang masuk dalam langue
tanpa di uji-coba lebih dulu lewat parole,
dan sebaliknya tidak satu pun parole
bisa ada (yaitu bisa melaksanakan fungsinya dalam komunikasi) kecuali jika parole itu berasal dari gudang harta langue. Artinya hal seperti ini
dapat diamati sekurangnya secara parsial
misalnya dalam suatu sistem seperti sistem makanan, karena di sistem ini fakta-fakta
individual inovasi bisa menjadi fakta-fakta langue.
Pada
sistem semiologi lainnya adalah mengguraikan bahwa langue yang dielaborasi bukan oleh masa penuturan melainkan oleh
suatu kelompok penggambilan keputusan. Kelompok pengambilan keputusan menjadi
asal-usul system itu yang bisa menjadi kelompok yang kurang-lebih kecil.
Kelompok ini bisa juga adalah suatu teknokrasi yang berkemampuan tinggi atau
bisa juga kelompok yang terpencar-pencar, yang lebih anonim (misalnya seni
perabotan, konveksi kelas menengah-bawah).
Di
dalam langue-langue tersebut
mengalami determinasi yang dilakukan oleh kolektifitas dengan cara: pertama ketika muncul beberapa kebutuhan
baru, yang mengikuti perkembangan masyarakat (misalnya, orang afrika memakai
pakian Eropa di Negaranya sendiri jaman sekarang, atau lahirnya protokol
makanan cepat saji dalam masyarakat industri dan urban). Kedua ketika beberapa imperatif ekonomi mendeterminasi lenyapnya
atau muncul digunakannya bahan-bahan tertentu (kain buatan pabrik). Ketiga ketika ideologi yang membatasi
penemuan bentuk-bentuk baru, yang mengekang penemuan itu dengan tabu-tabu dan
memperketat batas-batas dari apa yang normal.
Persoalan kedua atas pengertian Langue/Parole adalah tentang hubungan
antara “volume” yang bisa muncul antara “langue-langue” dan “parole-parole”. Dalam langage, ada suatu
disproporsi antara langue berupa
aturan yang terbatas dan ditaati oleh parole,
namun dalam praktiknya parole
memiliki jumlah yang tidak terbatas.
Sehingga menghadirkan suatu perbedaan volume yang besar, sebab dalam
“forma-forma kuliner, modalitas-modalitas dan kombinasi-kombinasi eksekusinya
tetap berjumlah besar.
Seperti dalam sistem-sistem mobil dan
perabotan, luasnya variasi-variasi kombinatoris dan asosiasi-asosiasi bebas,
batas antara model dan “eksekusi”-nya sangatlah tipis/kecil jumlahnya, keduanya
adalah sistem-sistem yang didalamnya “parole”
menjadi sangat miskin. Parole-nya
hampir tidak ada, sehingga bisa dikatakan bahwa secara paradoksal ini adalah
suatu langue yang tanpa parole.
Memang ada langue-langue tanpa
parole atau yang parole-nya sangat sedikit, maka tidak dapat dicegah bahwa harus
merevisi teori Saussurian yang menuntut bahwa langue hanyalah suatu sistem diferensi-diferensi (yang karena
sepenuhnya “negative” maka tidak bisa
disentuh di luar parole), dan
harus melengkapi pasangan Langue/Parole dengan elemen ketiga, yang
pada mulanya sudah bersignifikasi baik berupa materi maupun substansi dan
menjadi support (yang harus ada) bagi
sigfinikasi.
Dengan demikian mendapati tiga wilayah (dan
bukan dua) dalam semua sistem semiologis (non-linguistis) yaitu : materi,
langue dan penggunaannya. Tiga wilayah ini memungkinkan menjelaskan beberapa
system yang hadir tanpa “eksekusi”, sebab elemen pertamanya memastikan
materialitas langue-nya. Jika dalam
system itu, “langue”-nya membutuhkan
“materi” (dan tidak lagi memerlukan “parole”),
maka itu adalah karena system-sistem itu secara general memiliki asal usul yang
utiliter (bukan bersignifikasi), dan ini kebalikan dari langage manusia.
KESIMPULAN
Roland Barthes memakai teori linguistik modern
yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan menguraikan perkembangan dari
teori tersebut dengan menguraikan beberapa perubahan dari langue dan parole melalui
pemikiran Hjemslev dan Jacobson. Barthes mengembangkan teori tentang langue dan parole tidak semata-mata hanya di dalam kajian bahasa tetapi juga
kajian masyarakat: antropologi dan sosiologi. Dalam hal ini, Barthes memakai
penjelasan Marleau-Ponty dan C. Levi-Strauss. Barthes melihat bahwa, dalam
perkembangannya, langue menentukan parole (dalam perspektif semiologi) dan
bila ada perubahan dari langue ke
dalam parole, perubahan tersebut
tidak bisa dilakukan secara radikal, sebagaimana hal itu dikemukakan dalam
contoh kasus mobil dan mode. Di tambahkan pula, menurut Barthes, kita masih
memiliki ruang kreatif melalui parole
(pengembangan lebih jauh dari yang telah dikembangkan Saussure).
REFERENSI
De Saussure, Ferdinand. 1986. Course in General Lingustics. Translated
by: Roy Harris. Illinois: Open Court.
De Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar
Linguistik Umum. Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Barthes, Roland. 1968. Elements of Semiology. Translated by: Annette Lavers and Colin
Smith. New York: Hill and Wang.
Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Diterjemahkan oleh: Stephanus Aswar
Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gordon, W. Terrence. 2002. Saussure untuk Pemula. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat untuk Pemula. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.